Lensa Publik Memotret Para Calon

Saat berada di dalam Kereta Api perjalanan dari Jakarta ke Solo dan Jogjakarta. Dok/Foto:Karnoto

Dalam satu objek bisa beragam intrepretasi, ini karena seseorang berada posisi yang berbeda sudut pandangnya.

Sudut pandang yang berbeda ini juga akan memengaruhi analisis dan cara menyimpulkan. Dan ini terjadi dalam banyak hal, mulai dari hubungan antar personal, politik, sosial dan fenomena lainnya.

Dalam konteks pilkada misalnya, sekadar memotret wajah atau personality calon saja beragam perspektif, karena memang melihat dari sudut pandang yang berbeda.

Wajah calon kepala daerah memang idealnya dipotret dari berbagai sudut pandang, mulai dari personalitynya seperti kemampuan berfikirnya, ketajaman analisanya, keterampilan komunikasinya, sklil public speakingnya termasuk cara mereka membaca persoalan dan mencari jalan keluar terhadap persoalan publik.

Lensa kamera publik pasti akan memotret calon kepala daerah dari berbagai sudut pandang. Itulah makanya seorang leadership bukan saja dia sungguh - sungguh tapi harus penampakan kesungguhannya, bukan saja dia cerdas tapi harus menampakan kecerdasannya.

Bukan saja dia baik tapi harus menampakan kebaikannya. Supaya apa? Supaya hasil potretan publik yang posisinya berbeda itu hanya mampu menangkap gambar yang cerah,.proporsional dan mendekat kesempurnaan.

Itulah yang pernah saya sampaikan bahwa menjadi pemimpin itu sebenarnya berat, karena dia harus tampil sempurna meski dipotret dari berbagai sudut pandang.

Satu sisi saja mereka tampil menyebalkan, wajah yang buram dan performance yang tidak enak dipandang mata maka sisi kelebihan yang ada akan memudar.

Salahkah publik? Tentu tidak karena dia memang dituntut tampil sempurna dengan kompensasi hidupnya  nanti kalau terpilih akan dijamin oleh rakyat melalui pajak yang dibayarkan ke negara dan untuk jamiman pejabat publik.

Potret personality seorang calon memang harus enak dipandang biarpun ditangkap oleh lensa publik.meskipun kemampuan lensa itu datang dari lapisan grasroot, yang terbatas asupan informasinya, yang terbatas sistematika cara bicaranya.

Pada akhirnya kepala daerah yang abai dengan ini maka wajahnya tidak akan pernah mendapatkan bingkai khusus dari publik, selain bingkai pasaran karena dia hanya dikenal sebagai kepala daerah, tidak lebih dari itu.

Posting Komentar

advertise